Kualitas ahlak
atau budi pekerti generasi muda, khususnya kalangan pelajar saat ini dirasakan
cukup menghawatirkan. Fenomena ini ditandai dengan menurunnya tatakrama
kehidupan sosial, etika moral dalam praktik kehidupan sekolah yang
mengakibatkan sejumlah ekses negatif yang merisaukan masyarakat.
Ekses tersebut
antara lain semakin maraknya
penyimpangan berbagai norma kehidupan agama dan sosial kemasyarakatan yang
terwujud dalam bentuk perlakuan siswa
yang kurang hormat kepada guru dan staf sekolah, kurang disiplin dan
tidak mengindahkan peraturan sekolah, kurang menjaga keindahan dan kebersihan
lingkungan, terjadinya perkelahiann antar pelajar, penggunaan obat terlarang,
dan lain-lain.
Mengapa
fenomena itu terjadi? Hal ini antara lain disebabkan masih banyak guru yang
selama ini cenderung indoktrinatif dan hanya transfer pengetahuan (transfer
of knowlage) yang menekankan pada aspek kognitif dan mengabaikan aspek
afektif dan psikomotor. Akibat dari kesalahan ini peserta didik memiliki
pengetahuan tetapi tidak (kurang)
memahami dan melaksanakan aspek budi pekerti dalam kehidupan masyarakat. Hal
ini disebabkan peserta didik tidak memiliki sistem nilai yang diyakininya
Faktor lainnya yang menyebabkan pendidikan di
sekolah tidak berhasil dalam membina budi pekerti siswa karena masih ada anggapan guru yang salah.
Mereka beranggapan yang berkewajiban dan bertanggung jawab mengajarkan nilai
dan moral kepada peserta didik hanyalah
guru Agama dan PKn (Pendidikan Pancasila). Anggapan guru tersebut menyesatkan
dan harus diluruskan, pada dasarnya semua guru berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk mengajarkan nilai dan moral kepada peserta didik yang dilakukan
secara terintegrasi.
Salah satu
misi pendidikan adalah melindungi, melestarikan dan mengembangkan budaya bangsa
dan budi pekerti yang luhur dalam tata kehidupan sekolah. Telah disepakati, bahwa pendidikan budi
pekerti dimasukkan dan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang
relevan. Namun, yang
diharapkan adalah pendidikan budi pekerti menjadi bagian yang
dipraktikkan dalam kehidupan sehari- hari di sekolah.
Sebagaimana
kita ketahui sejak diberlakunya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), pendidikan budi pekerti tidak termasuk mata
pelajaran sendiri tetapi muatan dari pendidikan budi pekerti itu sendiri harus
terintegrasi pada semua mata pelajaran. Begitu pula dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) dan Kurikulum 2013.
Terintegrasinya materi pendidikan budi pekerti dalam semua mata
pelajaran agar tanggung jawab moral tidak terletak hanya pada satu mata
pelajaran saja, namun menjadi tanggung jawab semua mata pelajaran. Pendidikan
budi pekerti itu sendiri bertujuan mendorong kebiasaan dan perilaku peserta
didik yang terpuji, dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya
bangsa yang religius, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab, peserta
didik sebagai penerus bangsa, memupuk ketegaran dan kepekaan mental peserta
didik terhadap situasi sekitarnya sehingga tidak terjerumus ke dalam perilaku
yang menyimpang, baik secara individual maupun sosial. Meningkatkan kemampuan
untuk menghindari sifat-sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang
lain dan lingkungan.
Tujuan
tersebut dapat dicapai ketika pendidikan Budi Pekerti dimplementasikan kedalam
proses pembelajaran pada semua mata pelajaran. Nilai-nilai budi pekerti yang
dapat dintegrasikan adalah keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan mentaati
ajarannya, menaati ajaran masing-masing agama, memiliki dan mengembangkan sikap
toleransi, memiliki rasa menghargai diri sendiri, tumbuhnya disiplin diri,
mengembangkan etos kerja/etos belajar, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki
rasa keterbukaan, mampu mengendalikan diri, mampu berfikir positif,
mengembangkan kualifikasi diri, menumbuhkan rasa cinta dan kasuh sayang,
memiliki kebersamaan dan gotong royong, memiliki rasa kesetiakawanan, saling menghormati, memiliki tata krama dan sopan santun, memiliki rasa
malu, menumbuhkan kejujuran. Nilai-nilai tersebut dapat ditanamkan kepada siswa
selama pengalaman proses pembelajaran di kelas maupun proses pembelajara di
luar kelas dalam membentuk perilaku siswa. Disamping budi pekerti, juga harus memasukkan
pengetahuan tentang hak azasi manusia, pariwisata, lingkungan hidup, pencegahan
konsumeristik, kependudukan, kehutanan, home industri/ekonomi, pencegahan
HIV/AIDS, penangkalan narkoba, perdamaian, demokrasi dan peningkatan konsensus
pada nilai-nilai universal dalam pembelajaran mata pelajaran yang sesuai.
Dalam proses
belajar mengajar guru dan stekholder sekolah harus menjadi figur contoh dalam
setiap perilakunya yang dapat mewarnai perilaku semua siswa. Oleh karena itu
jelas bahwa hubungan anatara kreatifitas guru dan stekholder sekolah dalam
bertindak, berperilaku, berkomunikasi setiap saat mesti mendukung pembelajaran
setiap mata pelajaran di kelas atuapun diluar kelas.
Guru merupakan titik sentral keberhasilan
pendidikan budi pekerti di sekolah. Walaupun demikian, perlu ada gerakan awal
mensosialisasikan pencanangan budi pekerti di sekolah itu kepada semua guru,
orang tua siswa, dan pejabat. Di samping itu, perlu ada perbaikan dalam Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), khususnya pemahaman pemodelan
pembelajaran terpadu. Dengan demikian, calon guru yang akan mengajarkan
pendidikan budi pekerti keterpaduannya dengan semua pelajaran sudah menyikapi,
memahami, dan memiliki keterampilan untuk itu (Soenardjo dan Handono, 2000).
Ada
dua persyaratan yang dilaksanakan agar proses pembelajaran mampu mengintregrasikan
pendidikan budi pekerti, yaitu (a) kejelian profesional para guru dalam
mengantisipasi pemanfaatan berbagai kemungkinan arahan pengait yang harus
dikerjakan para siswa untuk menggiring terwujudnya kaitan-kaitan koseptual
intra atau antarmata bidang studi dan (b) penguasaan material terhadap bidang-bidang
studi yang perlu dikaitkan (Joni, 1996). Berkaitan dengan Pendidikan Budi
Pekerti sebagai pembelajaran yang terpadu dengan semua mata pelajaran arahan
pengait yang dimaksudkan dapat berupa pertanyaan yang harus dijawab atau
tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh para siswa yang mengarah kepada
perkembangan budi pekerti dan pengembangan kualitas kemanusiaan. Pertanyaan,
tugas, dan penguasaan pengayaan materi budi pekerti bagi para guru kelas di SD,
apalagi bila sekat-sekat pendekatan pendidikan berdasar disiplin ilmu
ditinggalkan, barangkali pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti secara terpadu
itu tidak menjadi persoalan yang rumit. Tetapi persoalan ini akan menjadi rumit
bagi guru bidang studi di SMP dan SMA. Oleh karena itu, khususnya untuk para
guru SMP dan SMA pengembangan kepribadian siswa dan penguasaan kemampuan dan
keterampilan yang dipersyaratkan untuk menguasai suatu dasar awal disiplin ilmu
harus digarap secara seimbang dan sinergik. Kita tidak berharap melahirkan
generasi muda yang terampil tanpa budi pekerti, kita pun tak berharap
melahirkan generasi yang berbudi pekerti yang tidak punya keterampilan. Yang
kita harapkan adalah generasi unggul yang berketerampilan tinggi dan
berbudipekerti yang baik.
Budi pekerti berkembang melalui empat tahap yaitu
tahap anatomi, heteronomi, sosionomi, dan anatomi (Bull, 1969; Rachman, 2000).
Mengingat budi pekerti berkembang melalui tahapan-tahapan perkembangan anak dan
pengaruh lingkungan dimana anak memiliki hak mengembangkan dirinya maka
pendidikan budi pekerti hendaknya diberikan secara dini, sekarang, dan selalu
setiap waktu. Oleh karena itu, guru di sekolah, orang tua di rumah,
instruktur/pelatih di tempat kursus, tokoh masyarakat di masyarakat dalam
mengembangkan budi pekerti anak harus bersifat spontan dan segera.
Spontan dalam merespon, menegur, mengarahkan ketika anak berbuat tidak sesuai
dengan nilai budi pekerti; segera memberi penguatan ketika anak berbuat sesuai
dengan nilai budi pekerti.
Sekali lagi perlu ditegaskan dan disadari
bersama bahwa pendidikan budi pekerti bukanlah hanya tanggung jawab guru mata
pelajaran Pendidikan Agama, PKn atau
Pendididikan Pancasila saja tetapi harus terintegrasi dalam seluruh mata
pelajaran yang diajarkan di sekolah serta dalam berbagai kegiatan sekolah. Kegiatan-kegitan
yang dilaksanakan di sekolah, terutama kegiatan kesiswaan perlu menerapkan
totalitas pendidikan dengan mengandalkan keteladanan, penciptaan lingkungan dan
pembiasaan hal-hal baik melalui berbagai tugas dan kegiatan. Pada dasarnya,
pembudayaan lingkungan di sekolah dapat dilakukan melalui: 1) penugasan, 2)
pembiasaan, 3) pelatihan, 4) pengajaran, 5) pengarahan, serta 6) keteladanan.
Semuanya mempunyai pengaruh yang kuat dalam pembentukan watak dan budi pekerti
siswa. Setiap kegiatan sekolah wajiba mengandung unsur-unsur pendidikan budi
pekerti. Hal itu antara lain dapat dijumpai dalam kegiatan kepramukaan yang
mengandung pendidikan kesederhanaan, kemandirian, kesetiakawanan dan
kebersamaan, kecintaan pada lingkungan, dan kepemimpinan. Dalam kegiatan olahraga
terdapat pendidikan kesehatan jasmani, penanaman sportivitas, kerja sama dan
kegigihan untuk berusaha.
Tak kalah pentingnya juga harus disadari
bahwa pembentukan watak dan budi pekerti anak tidak cukup hanya diberikan di
sekolah melainkan harus ditunjang oleh pendidikan luar sekolah. Pendidikan luar
sekolah seperti dalam keluarga oleh orang tua, dalam kelompok belajar oleh para
instruktur atau tutor; dalam kursus-kursus oleh para pelatih/pembina; dan dalam
lingkungan masyarakat oleh teman sebaya, masyarakat, tokoh masyarakat, elit
politik, dan sejenisnya. Mereka itu semua, secara proporsional harus dapat
memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan.
Keterpaduan, kesinambungan, dan keberlanjutan pendidikan budi pekerti yang dikembangkan
di sekolah dengan pendidikan budi pekerti di luar sekolah diharapkan akan
menghasilkan generasi bangsa yang memiliki watak dan budi pekerti luhur seperti
yang diharapkan.
Tidak ada komentar
Posting Komentar